Menurut Harun Nasution, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan seorang guru Mursyid.
Tarekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan
akhirat kepada para pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan
mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di samping itu tarekat berusaha
membuka pintu Surga bagi publik. Tarekat adalah jalan untuk memastikan
kesamaan peluang untuk masuk Surga bagi semua lapisan masyarakat, baik
yang alim, awam, kaya atau pun miskin.
Ruh sebelum masuk ke
tubuh memag suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali
menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan
diri pada Tuhan yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu
disucikan. Sufi-sufi besar kemudian merintis jalan sebagai media untuk
penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat (jalan).
Para ahli mistik dalam berbagai tradisi
keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada
kehadirat Tuhan sebagai jalan. Pembagian 3 (tiga) jalan dalam agama
Islam menjadi Syariat,Tarekat dan Hakikat. Jalan tri tunggal kepada
Allah dijelaskan dalam suatu hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut : “Syariat adalah perkataanku (aqwali), tarekat adalah perbuatanku (Ahwali), dan hakikat adalah keadaan batinku (Ahwali)." (anemari h. 123)
Tarekat
adalah jalan yang harus ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai
jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut Syar
sedang anak jalanan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa
menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari
jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap
Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia
berpangkal.
Pengalaman mistik tak mungkin didapat
bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu
dengan seksama. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih
sulit dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan sufi)
sampai secepat mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa
pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Di antara berbagai macam tarekat yang ada terdapat tarekat yang bernama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan penggabungan dari dua
Tarekat besar yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Penggabungan kedua tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga
terbentuk sebuah Tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat
induknya. Jadi tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia
merupakan tarekat yang mandiri yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
ASAL USUL GERAKAN TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Jika ditelaah secara sosiologis yang
lebih mendalam, lahirnya tarekat lebih dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup sufistik
tidak lepas dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan uzlah yang
dipelopori oleh Hasan al-Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyah.
Hasan al-Basri termasuk pendiri madzhab Basrah
yang beraliran zuhud. Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan al-
Basri itu dijadikan pedoman bagi ahli tasawuf. Pandangan tasawuf Hasan al-Basri
di antaranya pandangan dia terhadap dunia yang diibaratkan sebagai
ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa maut.
Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang
menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor
kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda
krisis hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina,
Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang
dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang dua abad (490-656 H /
1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi
serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap
wilayah jarahnya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat
kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena
selalu terjadi perebutan kekuasaan di antara dinasti-dinasti Turki.
Keadaan ini menjadi sempurna keburukannya dengan penghancuran kota
Baghdad oleh Hulaqu Khan.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau
umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada
doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan damai
dengan sesama muslim dalam kehidupan.
Umat Islam memiliki warisan kultural dari
para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan terutama di bidang tasawuf,
yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya
tarekat-tarekat pada masa itu. Misalnya Abu Hamid al- Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum al- Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) telah memberikan pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh sufi berikutnya seperti Syekh Abd al- Qadir al- Jailani yang merupakan pendiri Tarekat Qadiriyah.
Mula-mula tarekat hanya berarti jalan
menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara individual. Akan tetapi,
kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekat-nya kepada murid baik
secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tarekat
pun berarti jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya
mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal
pengertian tarekat sebagai nama sebuah organisasi sufi.
Pada dasarnya munculnya banyak tarekat
dalam Islam secara garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya
banyak mazhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam fiqih
berkembang mazhab-mazhab seperti : mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, Zahiri, dan Syi’i.
Di dalam kalam juga berkembang
firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, asy’ariyah, dan
Maturidiyah. Sementara mazhab dalam tasawuf disebut tarekat. Bahkan
tarekat dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab
dalam fiqih maupun firqah dalam kalam.
Di Indonesia terkenal sebuah Tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarekat ini merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan
oleh sufi dan Syekh besar masjid
al-Haram Mekah al- Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd
Ghaffar al- Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M.
Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai
akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan
gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat Qadiriyah dan
Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abd al-Qadir al-Jailani selalu
menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan
sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil
keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup
kepada masyarakat. Al-Jailani juga mengingatkan kepada pengikut tarekat
agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam.
Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tarekat
dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan
tarekatnya.
Tarekat Qadiriyah terus meluas
jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan
manaqib (sejarah kelahiran dan sejarah keistimewaanya), kini senantiasa
mewarnai prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama
pendiri tarekat ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini
menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah
institusi tarekat.
Sedangkan
Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin
al-Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717-791 H./ 1317-1389 M. Ia
dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak beberapa
kilometer dari kota Bukhara, Rusia.
Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas
memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat
yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan
untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Dalam
Tarekat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh
seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat
gurunya. Seorang syekh Tarekat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti
tarekat guru sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke dalam
tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syekh
Abdul Qadir al- Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat
gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah lah yang menjadi
walinya untuk seterusnya.
Syekh Khatib Sambas
sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu
hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia
modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru
tarekat dan mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar luas di
seluruh Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M), dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas
yang menonjol adalah di bidang tasawuf. Beliau sebagai pemimpin atau
mursyid tarekat Qadiriyah yang berpusat di Mekah pada waktu itu. Di
samping itu beliau juga sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran
Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan Madinah sehingga sangat
memungkinkan ia mendapat baiat tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan
tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut,
yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan
pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadu dan
ta’zim Syekh Khatib Sambas kepada pendiri kedua tarekat tersebut
sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya pada dirinya sendiri.
Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual
tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah
atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari
ijtihadnya.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari
dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini
menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya
unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan
menjadi sesuatu yang baru.
Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis
dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi
terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah
menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadkan
kalimat lailahailalah dengan suara keras, sedangkan Tarekat
Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir siri ismu dzat yaitu melafadkan
kalimat Allah dalam hati.
Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu
semenjak tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad Sa’ad
putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal
seperti pesantren maka tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan
tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa tarekat ini
disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh
para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh
Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib
Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib
Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama
tarekat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu
seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya
(silsilah) kepada ulama asal Banten tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar